Gambar Ilustrasi |
Dalam proses shalat Jum'at, kita sering mendengar adzan dikumandangkan dua kali di masjid yang kaumnya berhaluan Ahlussunah Wal jama'ah. Keadaan ini tak seperti shalat Fardu yang lain, sehingga ada sebagian kelompok yang menyanggah bahkan menyatakan bid'ah yang tidak seharusnya dikerjakan.
Dengan adanya sanggahan tersebut, maka diperlukan untuk menjawab asumsi kosong mereka agar masyarakat tak semakin bingung.
Tarikh mencatat Adzan Jum'at Pada era Rasulullah SAW, juga Sayyidina Abu Bakar R.a dan juga Sayyidina Umar ibn Khattab Ra. Adzan Jum'at hanya dilakukan saat khatib telah berada di atas mimbar
Sedangkan dimasa Sayyidina Usman Ra. Adzan Jum'at yang awalnya satu kali ditambah satu adzan tepatnya sesaat sebelum khatib naik ke mimbar.
Kebijakan tersebut atas dasar semakin banyaknya umat muslim dan jauhnya jarak tempat tinggal mereka dengan masjid.
Dengan ini Imam Bukhori menjelaskan dalam kitab haditsnya, bahwa :
"Pada Mulanya adzan Jum'at dikumandangkan saat imam sudah duduk di atas mimbar. Yaitu apa yang biasa dipraktikkan sejak Nabi SAW, Abu Bakar dan Umar Ra. Pada masa Khalifah Usman Ibnu Affan Ra, ketika manusia semakin banyak, maka pada hari Jum'at ia memerintahkan adzan yang ketiga. Sehingga dikumandang adzan yang ketiga tersebut di Az-Zahra. Maka berlakulah urusan tersebut menjadi ketetapan (HR. Bukhari. Juz 1, Hal 219)
Yang dimaksud dengan adzan tiga kali menurut pernyataan Ibnu Khuzaimah yaitu dengan Iqomahnya.
Atas dasar hadits tersebut, Ibnu Hajar Al-Asqalani menguatkan, bahwa praktik adzan Jum'at dua kali ini tidak hanya dilakukan oleh Sayyidina Utsman saja, akan tetapi juga dilakukan oleh umat Islam sedunia.
Disamping itu hadits riwayat imam Bukhari tersebut menandakan bahwa adzan Jum'at dua kali sudah menjadi ketetapan sejak saat itu hingga generasi setelahnya termasuk sayyidina Ali Karramallahu wajhahu.
Dengan demikian ketetapan dua adzan Jum'at tersebut sudah disepakati oleh dua Khalifah dan para sahabat-sahabat yang lain.
Maka dari itu ketetapan dua adzan Jum'at tersebut masuk kategori Ijma' Sukuti, hukum melakukannya menjadi Sunnah bukan bid'ah.
Untuk menguatkan pendapat diatas perlu kiranya memaparkan hadits Nabi SAW yang menjelaskan tentang berpegang teguh kepada sunnahnya dan kepada Khulafaur Rasyidin termasuk sayyidan Usman dan Sayyidina Ali.
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِش مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافً كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عليْهَا بِالنُّوَجِذِ
Sesungguhnya, barang siapa yang hidup setelahku, maka ia akan menyaksikan banyak perbedaan. Maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah dengan gerahammu (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Wallahu A'lam