Kisah KH Sulaiman Kurdi: Dari Ketiadaan Menuju Keberkahan
KH Sulaiman Kurdi, pengasuh Pondok Pesantren Al-Miftah, merupakan teladan yang mampu melahirkan ragam inspirasi bagi banyak orang. Lahir dengan nama kecil Agusnadi, ia tumbuh di tengah keluarga yang serba kekurangan. Kendati demikian, kondisi yang menghimpit tidak pernah dijadikannya alasan untuk berhenti dalam meraih cita-citanya guna memupuk ilmu agama.
Memang, sejak kecil KH Sulaiman Kurdi memiliki kecintaan yang mendalam terhadap ilmu agama. Tak heran jika dirinya begitu berniat untuk menempa diri di pesantren. Namun sayang, faktor keterbatasan finansial membuat dirinya tersendat untuk berproses di pesantren, Seperti banyak orang tua lain di zaman itu, orang tua KH Sulaiman Kurdi pun tidak mampu menutupi seluruh biaya pendidikan, sehingga akhirnya keluar larangan kepada KH Sulaiman Kurdi untuk mondok karena untuk biaya makan sehari-hari pun tidak cukup.
Tetapi tekad yang kuat akan selalu menemukan jalan. KH Sulaiman Kurdi menemukan cara untuk belajar dan memperdalam ilmu agamanya yaitu dengan belajar ke tokoh-tokoh di sekitar. Nama-nama seperti K. Ahmad (sumber Kari) guru pertama yang mengajar Al-Qur'an, kemudian dilanjut belajar kepada KH Rofi'i, adalah sosok-sosok yang menjadi peletak pertama ilmu agama dalam diri KH Sulaiman Kurdi. Saat itu, ia sudah menginjak usia 16 tahun.
Setelah belajar ilmu-ilmu dasar agama Islam kepada ulama-ulama setempat (Al-Qur'an, aqidah dan fiqih dasar), akhirnya ketika dirasa mampu untuk mondok walaupun tanpa dibantu sepenuhnya oleh orang tua, KH Sulaiman Kurdi memutuskan untuk mendedikasikan dirinya belajar di Pondok Pesantren Ahlussunah Wal Jama'ah (Aswaj) Ambunten Sumenep
Tentang Kebersahajaan
Di pesantren, KH Sulaiman Kurdi hanya memiliki 1 sarung dan 2 baju. Di samping itu, ia juga ditugaskan oleh KH. Ali Hisyam untuk mengisi bak mandi setiap hari, sehingga sarung yang dipakainya selalu kotor. Oleh karenanya, setiap ia hendak melaksanakan ibadah shalat, sarung yang dipakainya disucikan dan dikeringkan dengan diperas lalu dipakai lagi. Begitupun ia lakukan setiap hari.
Kisah inspiratif lain yang bisa kita teladani perihal keteguhan tekad dan kesederhanan dari masa KH Sulaiman Kurdi di pesantren adalah ketika ia tidak menerima kiriman uang dari orang tuanya selama 8 bulan. Ia kelaparan dan tidak memiliki uang untuk membeli kebutuhan pokok. Daripada mengeluh dan mengutuk keadaan, KH Sulaiman Kurdi memilih tabah dan percaya bahwa Allah SWT akan selalu membersamai hamba-hamba-Nya yang mau berjuang. Saat itu, KH Sulaiman Kurdi mengambil daun pohon asam untuk dimakan sehari-hari.
Kondisi yang jauh dari kata nyaman ini, justru menjadi bahan bakar semangat bagi KH Sulaiman Kurdi untuk belajar dengan lebih tekun dan giat. Ia tak pernah main-main dengan urusan belajar dan muthala’ah. Selama berada di pondok, banyak kitab yang ia hafalkan sehingga tak jarang dirinya menjadi rujukan santri-santri lain terkait kitab-kitab. Hal ini ia lakukan dengan begitu disiplin di samping kesibukan dia untuk terus mengabdikan diri kepada Sang Guru.
Dalam diri KH Sulaiman Kurdi, kita bisa melihat bahwa kemiskinan bukan halangan untuk meraih cita-cita. Kegigihan dan keteguhan hati KH Sulaiman Kurdi muda layak menjadi contoh bagi para santri dan Masyarakat luas. Beliau tidak pernah menyerah pada keadaan dan selalu berusaha untuk mencari jalan keluar. Pengalaman ini menjadikannya pribadi yang tangguh dan mandiri, dan menumbuhkan rasa syukur atas apa yang dimilikinya.
Terpilih Menjadi Penulis Azimat KH Ali Hisyam Ali Wafa
Prinsip hidup yang telah dijalani oleh KH Sulaiman Kurdi serta kegigihannya dalam menimba ilmu agama akhirnya mengantarkan KH Sulaiman Kurdi pada pencapaian-pencapaian dalam hidupnya. Salah satunya adalah ketika dirinya menjadi satu-satunya santri yang dipilih oleh KH Ali Hisyam Ali Wafa, seorang ulama besar dan kharismatik, untuk menjadi penulis azimat.
Kepercayaan KH Ali Hisyam Ali Wafa kepada KH Sulaiman Kurdi muda untuk menjadi penulis azimatnya atas dasar tanda lidahnya, di mana dari sekian ratus santri yang ada, lidah yang sesuai dengan apa yang dicari gurunya hanya milik KH Sulaiman Kurdi.
Menjadi penulis azimat KH Ali Hisyam Ali Wafa tentunya bukan tugas yang mudah. Kepercayaan KH Ali Hisyam Ali Wafa kepada KH Sulaiman Kurdi muda merupakan amanah yang besar. Beliau telah memberikan kesempatan kepada KH Sulaiman Kurdi untuk belajar dan berkembang dalam ilmu azimat, dan menjadikannya sebagai salah satu ahli azimat yang disegani di kemudian hari.
Selain itu, pencapaian yang jauh luar biasa adalah kepercayaan masyarakat terhadap dirinya untuk membina anak-anak mereka untuk memperdalam ilmu agama. Kepercayaan inilah yang akhirnya menjadi embrio dari lahirnya suatu pondok pesantren yang saat ini bernama Pondok Pesantren Al-Miftah.
Pondok Pesantren Al-Miftah didirikan dengan tujuan mulia untuk memberikan pendidikan agama kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu, seperti yang pernah dialami KH Sulaiman Kurdi sendiri. Beliau ingin memastikan bahwa setiap orang, terlepas dari latar belakangnya, harus memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan memahami agama.
Di bawah kepemimpinan KH Sulaiman Kurdi, Pondok Pesantren Al-Miftah berkembang pesat. Banyak santri dari berbagai daerah berbondong-bondong datang untuk belajar di sana. KH Sulaiman Kurdi tidak hanya memberikan mereka mereka pemahaman ilmu agama, tetapi juga lebih jauh menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti yang luhur sebagai suatu bentuk praktik langsung dari pemahaman mereka dalam ilmu agama.
Selengkapnya; Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al-Miftah
Babak demi babak perjalanan KH Sulaiman Kurdi menjadi cermin bagi kita bahwa kombinasi dari tekad yang kuat, kegigihan, serta kepercayaan pada keluasan nikmat Allah SWT merupakan kunci untuk menjalani kehidupan dengan penuh khidmat, baik dalam konteks menimba ilmu pengetahuan, atau bahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Prinsip hidup seperti yang tertuang dalam biografi singkat ini, yaitu nilai-nilai yang tak lekang oleh waktu, harus menjadi segudang nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi.