BAB MENERANGKAN ANIYAH (PERABOT)


BAB MENERANGKAN ANIYAH (PERABOT)

al-'Aniyah adalah bentuk jama' dari lafadz ina". Sedangkan lafadz al-awani adalah bentuk jama' dari lafadz al-aniyah. Yang dikehendaki dengan al-aniyah adalah segala sesuatu yang menempati ruang kosong meskipun sangat kecil, (catatan kaki) atau sesuatu yang dapat memindah perkara lain dari satu tempat ke tempat yang lain.

Hukum menggunakan al-Aniyah

Diperbolehkan menggunakan segala macam alat kecuali yang terbuat dari emas dan perak. Sedangkan menggunakan alat yang terbuat dari emas dan perak hukumnya haram, baik bagi laki-laki maupun perempuan, karena akan menimbulkan kesan sombong dan membuat hati orang-orang faqir miskin menjadi sedih dan perih.

Menggunakan perabot yang terbuat dari emas dan perak diperbolehkan jika ada hajat, seperti digunakan sebagai alat bercelak untuk memperjelas penglihatan. Atau dalam keadaan darurat seperti digunakan alat untuk minum ketika tidak ditemukan alat yang lain.

Haram menyimpan perabot yang terbuat dari emas dan perak meskipun tidak digunakan, karena dengan menyimpan terkadang akan mendorong pada penggunaan.

Perabot yang terbuat dari logam mulia dan bahan-bahan yang indah, seperti Yaqut, Kristal permata dan intan hukumnya tidak haram digunakan atau di simpan, meskipun harganya lebih mahal daripada emas. (catatan kaki)

Hal ini sebagaimana yang diungkapkan penyusun nadzam Shafwatu az-Zubad:

"Diperbolehkan menggunakan perabot suci yang terbuat dari kayu, atau selainnya, tidak yang terbuat dari perak dan emas."

"Maka haram menggunakan yang terbuat dari emas dan perak, seperti alat celak, bagi perempuan, dan juga halal memakai alat yang terbuat daripermata.”

Permasalahan Tambalan

Ad-dhabbah adalah lempengan emas atau perak yang digunakan untuk memperbaiki wadah/ perabot yang pecah, atau untuk menghiasi.

Perincian Hukum Tambalan

Adakalanya tambalan itu kecil dan adapula yang besar. Ada yang karena hajat adapula yang karena hiasan saja. Sedangkan hukumnya ada yang boleh, makruh dan yang haram.

Tambalan emas dan perak hukumnya mubah dalam satu keadaan, yaitu ketika ukuran tambalannya kecil dan ada hajat. Hukumnya makruh di dalam empat keadaan, yaitu:

1. Ukuran tambalannya besar dan ada hajat.

2. Ukuran tambalannya kecil dengan tujuan hiasan.

3. Ukuran tambalannya kecil, sebagian karena hiasan dan sebagian lagi karena hajat.

4. Ketika masih diragukan kecil dan besarnya ukuran tambalan, baik semuanya karena hiasan, atau sebagian karena hiasan dan sebagian yang lain karena ada hajat.

Tambalan emas dan perak hukumnya haram dalam dua keadaan, yaitu:

1, Ukuran tambalan besar dengan tujuan hiasan.

2. Ukuran tambalan besar, sebagian karena hiasan dan sebagian yang lain karena ada hajat.

Batasan besar dan kecilnya ukuran tambalan

dikembalikan ke urf (kebiasaan yang berlaku). Yang dimaksud dengan hajat yaitu ada bagian dari perabot yang pecah kemudian ditambal dengan emas dan perak. Penyusun nadzam Shafwatu az-Zubad berkata:

Haram menambal dengan emas dan perak, yang besar secara urf dengan tujuan hiasan.”

“Jika kedua syarat ini tidak terpenuhi maka hukumnya halal, dan makruh jika ada salah satunya, hajat adalah yang sesuai dengan ukuran pecahnya wadah.”

Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi perincian tambalan di atas, apakah mencakup tambalan emas dan perak ataukah tambalan perak saja. Menurut imam Rafi'i, perincian diatas mencakup tambalan emas dan perak. Sedangkan pendapat mu'tamad menurut imam an-Nawawi adalah perincian di atas hanya untuk tambalan dari perak saja, sedangkan tambalan emas hukumnya haram secara mutlak. Sebagaimana yang diungkapkan al-Allamah Muhammad ibn Ahmad al-Maki al-Asadi di dalam kitab Zawa'idu az-Zubad:

“Haramkanlah tambalan emas secara mutlak, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh imam Nawawi.”

at-Tamwih (Penyepuhan)

at-Tamwih adalah melapisi bagian luar perabot dengan emas dan perak. Hal ini lebih dikenal dengan istilah at-thila" (sepuhan). Hukum menyepuh adalah haram secara mutlak.

Sedangkan menggunakan barang yang telah disepuh hukumnya diperinci:

1. Jika tidak ada bagian sepuhan yang terlepas dari perabot saat dipanggang dengan bara api karena sepuhannya sangat sedikit, maka hukum menggunakannya adalah halal secara mutlak bagi laki-laki dan perempuan.

2. Jika ada bagian sepuhan yang terlepas saat dipanaskan dengan api, maka haram menggunakannya bagi laki-laki dan perempuan (catatan kaki)

Menutup wadah

Hukum menutup wadah adalah sunnah, meskipun hanya dengan membentangkan kayu di atasnya. Dan hal ini semakin kokoh dianjurkan saat malam hari, karena berdasarkan Hadits:

غطُّوا الإناء، وأَوْكِئُوا السِّقَاء، وأغْلِقُوا الأبْوَاب، وأطْفِئُوا السِّراج؛ فإن الشيطان لاَ يَحُلُّ سِقَاء، ولا يفتح بابا، ولا يَكْشِف إناء

“Ada satu malam dalam setahun yang mana pada malam itulah turunnya wabah. Tidak ada satupun wadah yang tidak tertutup dan kantong air yang tidak terikat kecuali wabah itu masuk kedalamnya.” (HR. Muslim)

Sebagian ulama mensyaratkan bacaan basmalah untuk menghasilkan kesunnahan menutup dengan sebongka kayu. Penyusun nadzom Shafwatu a-Zubad berkata:

“Dan disunnahkan untuk menutup wadah, meski dengan sebongkah kayu yang dibentangkan di atasnya.”


BAB IJTIHAD

Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk menghasilkan tujuan. Sinonim ijtihad adalah Taharri dan Tawakhkhi.

Contoh ijtihad adalah ketika terjadi keserupaan terhadap seseorang diantara dua air, dua pakaian, dua wadah air atau dua tempat yang satu suci dan yang lain najis, maka ia melakukan ijtihad guna mengetahui yang mana yang suci. 

Diantara keduanya. Hukum ijtihad adakalanya tidak wajib dan terkadang wajib.

Ijtihad hukumnya tidak wajib dengan empat syarat:

1. Ada air dan sejenisnya yang suci dengan yakin selain yang masih diragukan. Jika tidak ada, wajib melakukan ijtihad.

2. Barang yang diragukan lebih dari satu. Jika hanya satu, tidak diperbolehkan melakukan jjtihad. Seperti baju yang terkena najis, namun tidak diketahui secara pasti bagian mana yang terkena. Kalau demikan, wajib mencuci seluruh bagian baju.

3. Ada kemungkinan besar bisa mengetahui mana yang suci dan yang najis, atau mengetahui mana yang halal dan yang haram berdasarkan tanda-tanda yang ada. Jika tidak ada kemungkinan besar untuk menghasilkan hal di atas, tidak diperbolehkan untuk ijtihad. Seperti seorang wanita mahramnya laki-laki yang serupa dengan beberapa wanita bukan mahramnya yang bisa terhitung jumlahnya, maka baginya tidak diperbolehkan menikahi salah satu dari mereka. (Catatan kaki)

4. Masing-masing dari perkara yang serupa itu asalnya merupakan perkara suci atau halal. Jika aslinya merupakan perkara najis seperti air kencing, atau aslinya haram seperti bangkai, ijtihad yang dilakukan tidak sah.

Ijtihad hukumnya wajib dengan tiga syarat:

1. Tidak ada perkara suci dengan yakin selain yang masih diragukan. (Catatan kaki)

2. Seandainya air yang masih diragukan dijadikan satu tidak mencapai dua qullah tanpa ada perubahan pada sifat-sifatnya.

3. Waktu shalat hampir habis. (catatan kaki)

Permasalahan-Permasalahan yang Terkait dengan Ijtihad

1. Jika ada air suci mensucikan yang serupa dengan air mawar, tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, bahkan wajib melakukan wudlu dengan masing-masing air tersebut. Sehingga dapat dipastikan telah melakukan wudlu dengan air yang hukumnya sah, dan tidak diperbolehkan meski terdapat keraguan saat niat.

2. Jika terjadi keserupaan pada seseorang diantara air suci mensucikan dan air kencing, tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, bahkan wajib membuang keduanya atau mencampurnya kemudian melakukan tayyamum.

Hal ini harus dilakukan karena tayyamum tidak bisa sah jika masih ada air suci mensucikan. Kita tidak bisa mengatakan: “Melakukan wudlu dengan masing-masing air tersebut.” Karena akan mengotori badan dengan najis, dan hukumnya haram.

3. Jika terjadi keserupaan pada seseorang diantara dua wadah, kemudian salah satunya nampak suci berdasarkan tanda-tandanya, wajib untuk menggunakannya dan sunnah membuang air di wadah yang satunya. Karena jika tidak dibuang kemudian masuk waktu shalat berikutnya, wajib melakukan ijtihad

Berbagi

Posting Komentar