Hukum Haji+ Karena Faktor Umur dan Antrian

Doa 20Setelah 20Shalat 20Tarawih 20250506 151254 0000

Wajibkah ONH Plus Bagi yang Terkendala Usia dan Antrian Lama

a. Deskripsi Masalah 

Calon haji di tahun 2025 di berbagai daerah harus sabar menunggu antrean belasan tahun. Di daerah Jawa Timur saja harus menunggu 30 tahun.

Masa penantian ini bukanlah masa yang sebentar. Jika masih berumur muda tentu bukan masalah. Orang yang telah berumur 40 tahun ke atas, 30 tahun lagi biasanya secara fisik sudah tidak kuat. Padahal ritual ibadah haji membutuhkan kekuatan dan ketahanan fisik yang tangguh. Sementara itu, banyak ditawarkan haji ONH Plus yang hanya membutuhkan waktu tunggu 2 sampai 4 tahun. Namun tentu biayanya lebih tinggi bahkan bisa sampai 2 kali lipat haji reguler.

b. Pertanyaan:

Apakah wajib mengikuti Haji ONH Plus bagi orang yang telah memiliki biaya?

Jawaban: Wajib apabila pada waktu pemberangkatan haji reguler tidak dapat melaksanakan haji karena lumpuh atau hartanya hilang. 

قَوْلُهُ: (أَنَّ الْحَجَّ عَلَى التَّرَاخِي) وَذَهَبَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ إِلَى أَنَّهُ عَلَى الْفَوْرِ، وَأَمَّا أَبُو حَنِيفَةَ فَلَيْسَ لَهُ نَصٌّ فِي ذَلِكَ؛ وَإِنَّمَا اخْتَلَفَ فِيهِ صَاحِبَاهُ، فَذَهَبَ مُحَمَّدٌ إِلَى أَنَّهُ عَلَى التَّرَاخِي كَالشَّافِعِيِّ، وَأَبُو يُوسُفَ إِلَى أَنَّهُ عَلَى الْفَوْرِ كَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ. اهـ. إِطْفِيحِيٌّ.

وَاعْلَمْ أَنَّهُ حَيْثُ تَحَقَّقَ الْوُجُوبُ بِأَنْ اجْتَمَعَتْ شَرَائِطُهُ الْمَذْكُورَةُ، فَهُوَ عَلَى التَّرَاخِي؛ لَكِنْ يُسَنُّ تَعْجِيلُهُ خُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَ الْفَوْرَ، لَكِنْ لَوْ مَاتَ قَبْلَ أَدَائِهِ تَبَيَّنَ عِصْيَانُهُ مِنَ السَّنَةِ الْأَخِيرَةِ مِنْ سِنِي الْإِمْكَانِ، حَتَّى لَوْ شَهِدَ شَهَادَةً، وَلَمْ يَحْكُمْ بِهَا حَتَّى مَاتَ، لَمْ يُحْكَمْ بِهَا، كَمَا لَوْ بَانَ فِسْقُهُ.

وَإِنِ اسْتُشْكِلَ بِأَنَّهُ فِسْقٌ مُخْتَلَفٌ فِيهِ، فَلَوْ كَانَ حَكَمَ بِهَا، فَيَنْبَغِي أَنْ يُقَالَ: إِنْ كَانَ الْحُكْمُ بِهَا قَبْلَ آخِرِ سِنِي الْإِمْكَانِ، لَمْ يُنْقَضْ، أَوْ بَعْدَهُ نُقِضَ لِتَبَيُّنِ فِسْقِهِ عِنْدَ الشَّهَادَةِ.

وَهَلِ الْمُرَادُ بِالسَّنَةِ الْأَخِيرَةِ: أَوَّلُهَا أَوْ آخِرُهَا أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ؟ فِيهِ نَظَرٌ. وَيُتَّجَهُ أَنَّ الْمُرَادَ بِهَا: زَمَنُ إِمْكَانِ الْحَجِّ عَلَى عَادَةِ بَلَدِهِ، وَكَمَوْتِهِ فِيمَا ذَكَرَ غَضَبَهُ، فَيَتَبَيَّنُ بَعْدَهُ فِسْقُهُ فِي آخِرِ سِنِي الْإِمْكَانِ وَفِيمَا بَعْدَهَا إِلَى أَنْ يُحَجَّ عَنْهُ، وَيَجِبُ عَلَيْهِ الِاسْتِنَابَةُ فَوْرًا؛

وَيُسْتَثْنَى مِنْ كَوْنِهِ عَلَى التَّرَاخِي: مَا لَوْ خَشِيَ الْغَضَبَ بِشَهَادَةِ عَدْلَيْنِ، أَوِ الْمَوْتِ كَمَا قَالَهُ الرُّويَانِيُّ وَغَيْرُهُ، أَوْ هَلَاكُ مَالِهِ؛ سَمْ مَعَ بَعْضِ تَصَرُّفٍ.

Ucapannya: (“Bahwa haji itu hukumnya tidak harus segera (bisa ditunda)”)

Imam Mālik dan Ahmad berpendapat bahwa haji itu wajib segera dilaksanakan (setelah syarat-syaratnya terpenuhi).

Adapun Abū Ḥanīfah, beliau tidak memiliki teks (pendapat langsung) mengenai hal ini, melainkan kedua muridnya yang berbeda pendapat:

Muḥammad bin Ḥasan berpendapat bahwa haji boleh ditunda (seperti pendapat Imam Syāfi‘ī),

sedangkan Abū Yūsuf berpendapat bahwa haji harus segera (seperti pendapat Mālik dan Ahmad).

(Selesai penukilan dari) Iṭfīḥī.

Ketahuilah, bahwa apabila kewajiban haji sudah benar-benar terbukti dengan terpenuhinya semua syarat yang telah disebutkan, maka hukumnya boleh ditunda. Namun, dianjurkan untuk menyegerakannya sebagai bentuk kehati-hatian dari perbedaan pendapat dengan pihak yang mewajibkan segera.

Akan tetapi, jika seseorang wafat sebelum menunaikannya, maka tampaklah bahwa ia telah berdosa sejak tahun terakhir dari masa memungkinkan (melaksanakan haji).

Sampai-sampai, seandainya ia pernah memberikan kesaksian dalam kondisi tersebut (di tahun terakhir itu) namun belum diputuskan (oleh hakim) hingga ia wafat, maka kesaksiannya tidak akan diterima.

Sebagaimana jika diketahui bahwa ia adalah orang fasik.

Jika dipertanyakan:

“Bukankah kefasikan itu masih diperselisihkan (dalam kasus menunda haji)?”

Maka perlu dikatakan:

Jika keputusan (hakim) diambil sebelum akhir tahun kemampuan, maka tidak dibatalkan;

namun jika setelahnya, maka keputusan itu harus dibatalkan karena terbukti bahwa ia fasik ketika memberi kesaksian.

Dan apakah yang dimaksud dengan tahun terakhir itu: awal tahun, akhir tahun, atau waktu lain?

Dalam hal ini ada perbedaan pandangan.

Pendapat yang kuat adalah bahwa yang dimaksud adalah masa memungkinkan haji menurut kebiasaan di negerinya.

Seperti halnya jika seseorang meninggal dalam masa tersebut dan ia sebelumnya tampak lalai atau acuh, maka setelah wafatnya itu terbukti bahwa ia fasik sejak akhir tahun kesempatan itu dan sesudahnya—hingga ada orang lain yang menghajikannya.

Maka ia wajib segera menunjuk orang lain (untuk menghajikannya) secara langsung.

Dikecualikan dari ketentuan bahwa haji boleh ditunda adalah jika seseorang khawatir terkena murka Allah, dengan adanya kesaksian dua orang adil, atau khawatir mati, sebagaimana dikatakan oleh Ar-Ruyānī dan lainnya, atau takut hartanya binasa (sehingga tidak bisa digunakan haji).

Bagikan Artikel